Senin, 16 Desember 2013

PERJUANGAN DIPONEGORO DALAM MEMPERJUANGKAN NKRI

oleh: Nur Inayah

     Radan Mas Ontowiryo atau yang sering kita kenal dengan sebutan Pangeran Diponegoro ini adalah putra tertua dari Sri Sultan Hamegkubuono II dengan Raden Ayu Mangrawati, yaitu keturunandari Kyai Ageng Prampelan, seorang ulama yang sangat disegani pada masa panembahan Senopati saat beliau mendirikan kerajaan Mataram. Sejak kecil, Pageran Diponegoro diasuh oleh neneknya, yang bernama Kanjeng Ratu Ageng. Tatkala di Istana kerajaan terjadi ketegangan dan keributan, Kanjeng Ratu Ageng meninggalkan istana bersama cucunya yaitu Pangeran Diponegoro ke Desa Tegalrejo, yang terletak di sebelah barat Yogyakarta. (Anwar Kurnia, 2002:79)
     Pangeran Diponegoro adalah putera seorang raja, tetapi beliau tidak senang tinggal di istana dan hidup berfoya-foya disana. Pangeran Diponegoro lebih suka hidup biasa seperti rakyat pada umumnya. Pangeran Diponegoro bukan hanya pahlawan nasional terbesar dari masyarakat pulau Jawa yang berjuang melawan Pemerintah Kolonoal Hindia Belanda yang semata-mata hanya karena urusan tanah dan tahta. Tetapi, Pangeran Diponegoro adalah keturunan bangsawan dari Jawa yang sangat mendalami dan mengerti ajaran agama Islam. Pangeran Diponegoro merupakan sosok pahlawan yang pemberani demi mewujudkan sebuah cita-cita luhur bangsa Indonesia.
     Pangeran Diponegoro tinggal di Desa Tegalrejo, tetapi dalam urusan pemerintahan di Yogyakarta, Pangeran Diponegoro tetap bertugas dalam suatu dewan perwalian. Selain itu Pangeran Diponegoro juga pempunyai pengaruh yang luas di kalangan rakyat Yogyakarta, dan Rakyat Indonesia pada umumnya. Mengetahui hal itu, Belanda tidak seuju, karena Belanda menganggap itu dapat menghalangi cita-cita untuk menguasai kesultanan Yogyakarta. Oleh sebab itu, setiap gerak gerik yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro selalu diawasi oleh Pemerintah Belanda. Hal itulah yang menjadi awal timbulnya benih permusuhan antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda.
Dengan demikian maka, alangkah baiknya jika kita mengetahui bagaimana sejarah kehidupan serta peran Pangeran Diponegoro dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Karena selain berjuang untuk merebut tanah dari kekuasaan Belanda Pangeran Diponegoro juga berjuang memperjuangkan kemerdekaan seluruh tanah bumi pertiwi.
     Setelah kekalahannya dalam Peperangan ea Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya. Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktik monopoli yang dilakukannya itu sangat meresahkan rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita. Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu diantaranya adalah Kerajaan Yogyakarta.
     Di Yogyakarta Pangeran Diponegoro mempunyai pengaruh terhadap masyarakat, apalagi setelah beliau diangkat sebagai kepala pemerintahan disuatu dewan perwalian. Belanda tidak menyenangi Pangeran Diponegoro menduduki dewan perwalian di Yogyakarta.
     Dalam rangka melawan kekuasaan Belanda di kerajaan Yogyakarta, maka terjadilah pertempuran di sana . Pertempuran tersebut dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. (Radan Mas Ontowiryo), Putra tertua dari Sri Sultan Hamengkubuwono II. Semangatnya dalam menumpas kedudukan Belanda di tanah jawa sangat besar hingga sulit dikalahkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Hingga Belanda melakukan taktik kelicikan dengan menangkap dan mengasingkan Pangeran Diponegoro. Saat mereka mengadakan perundingan di kediaman Residen Kedu. Hingga akhirnya di tempat pengasingannya itu, Pangeran Diponegoro wafat. (Suparman, 1945:49 )

Sebab-Sebab terjadinya Perang Diponegoro.
     Dalam rangka menumpas kekuasaan Belanda di tanah Jawa terdapat sebab-sebab, baik sebab umum maupun sebab khusus. Adapun sebab umum dari terjadinya perang Diponegoro adalah sebagai berikut:
     Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok tanah milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Pada saat itu memang Pangeran Diponegoro sudah membenci kelakuan Belanda karena Belanda selalu ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan di Yogyakarta.
     Perlawanan Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825-1830 ini, disebabkan oleh reaksi dari sistem yang diciptakan dan diwariskan oleh Reffles dan Daendles, antara lain:
     Keraton merasa dihina dan diturunkan martabatnya, karena sejak jatuhnya Mataram ketangan pemerintah kolonial, maka berdirinnya keraton seakan-akan hanya karena kemurahan hati pemerintah kolonial. Selain itu, kekuasaan raja juga terus menerus diperkecil dengan cara membagi kerajan Mataram menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Mereka juga menyamakan kedudukan raja dengan kedudukan pegawai tingi serta melarang para bangsawan menyewakan tanahnya kepada perusahaan asing.
     Rakyat mengalami penderitaan karena diperas berbagai sitem pajak, antara lain pajak lalu lintas, pajak ternak, pajak tanah, pajak rumah, pajak hasil bumi. Akibat perbuatan pegawai kolonial yang sewenan-wenang terhadap rakyat. Pada tahun 1825 Belanda bermaksud membuat jalan baru dari Yogyakata ke Magelang melalui wilayah Desa Tegalrejo, dengan melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro. Tindakan itu menimbulkan amarah Diponegoro semakin meluap-luap. (Anwar Kurnia, 2002:80)
     Sebab khusus dari terjadinya perang Dipenegoro adalah sebagai berikut:
Belanda akan membuat jalan raya yang melewati makam leluhur Diponegoro tanpa meminta izin terlebih dahulu.Pangeran Diponegoro mencabuti patok-patok yang telah ditancapkan oleh Belanda.
     Melihat tidakan Pangeran Diponegoro seperti itu, Maka Residen Smisaert meminta Pangeran Mangkubumi agar membujuk Pangeran Diponegoro untuk menghadapnya. Permintaan Residen Smisaert ditolak oleh Diponegoro, dan Pangeran Mangkubumi kemudian ikut bergabung dengan Diponegoro untuk melawan Belanda. Pada tanggal 20 Juli 1825, Belanda dibantu Patih Danurejo IV untuk menyerang kediaman Pangeran Diponegoro di Desa Tegalrejo. Ketika itu Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi sedang berada di Pendopo Kerajaan. Pangeran Diponegoro semula tidak mau mundur, tetapi setelah didesak oleh Pangeran Mangkubumi, akhirnya Pangeran Diponegoro berhasil meloloskan diri melalui pintu samping kediamannya. Pangeran Diponegoro menaiki kudanya diikuti oleh Pangeran Mangkubumi menuju Selarong yang berada di sebelah barat Yogyakarta.
      Kini perang mulai berkobar, daerah Kesultanan Yogyakarta mendapatkan bantuan dari berbagai golongan, diantaranya :
Golongan ulama yang terdiri dari Kiai Mojo dan Kiai Hasan Besari, golongan bangsawan yang terkenal yaitu Sentot Prawirodirjo, dan golongan petani.
     Lalu mereka berkumpul dan menyusun taktik perang. Dan taktik perang yang akan gigunakan oleh Pangeran Diponegoro dan pasukannya adalah bergerilya (berpindah dari satu tempat ke tempat lain), misalnya: dari Yogyakarta ke Selarong, Plered, Dekso, Pengasih, bahkan sampai ke Jawa Timur. (Anwar Kurnia, 2002: 80)


Proses Terjadinya Perang Diponegoro.
     Permusuhan antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda berawal ketika Belanda memasan patok-patok jalan melalui Desa Tegalrejo. Rupanya, jalan yang akan dibangun itu melintasi tanah makam leluhur Pangeran Diponegoro. Melihat hal itu, Pangeran Diponegoro menjadi marah. Kemudian Pangera Diponegoro mencabuti patok-patok jalan itu.
     Setelah kejadian itu, Residen Belanda yang bernama A.H. Smiseart meminta Pangeran Diponegoro untuk menghadapnya namun permintaan itu secara tegas ditolak oleh Pangeran Diponegoro. Akibatnya, pada tanggal 21 Juli 1825 sekitar pukul 17.00 WIB pasukan Belanda menembakkan meriam ke Desa Tegalrejo. Penyerangan pasukan Belanda ini membuat rakyat berbondong-bondong datang ke Pendopo Tegalrejo. Mereka bermaksud mendukung Pangeran Diponegoro. Akhirnya pusat pertahanan Pangeran Diponegoro yang semula berada di Tegalrejo karena adannya seranan itu dan adanya usulan dari Pangeran Mangkubumi, maka dipindahkan ke daerah Selarong.
       Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan invantri, kaveleri dan artileri yang sejak perang Napoleon, menjadi senjata andalan dalam pertempuran antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Pangeran Diponegoro. Front pertempuran ini terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Pulau Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi, begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan yang dibutuhkan dalam perang. Perang Diponegoro ini mendapat dukungan dari rakyat Tegalrejo. Dari Tegalrejo rakyat pendukung Pangeran Diponegoro beserta pasukannya bergerak ke Bukit Selangor. Disinilah Diponegoro dan rakyatnya membuat daerah pertahanan dan menyusun strategi penyerangan. Para rakyat bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang tersebut. Misalnya informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, dan curah hujan. Itu semua menjadi berita utama karena taktik dan strategi hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
     Serangan-serangan besar oleh rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan musim penghujan. Karena musim hujan merupakan waktu yang paling baik untuk bekerjasama dengan alam. Bila musim penghujan tiba, Gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan sering kali terjadi dengan deras, membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Begitu pula berbagai peyakit banyak bermunculan pada musim hujan. Misalnya penyakit malaria dan disentri yang selalu menyerang pada waktu musim penghujan. Dengan adannya penyakit tersebut, dapat menjadi kabar baik bagi bangsa Indonesia, sebab penyakit tersebut dapat melemahkan moral dan kondisi fisik pasukan Kolonial Belanda, bahkan dapat pula merenggut nyawa pasukan Kolonial Belanda.

Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator. Mereka bergerak dari desa ke desa,bahkan sampai ke kota,hanya untuk memecah belah dan menekan anggota keluarga parapemimpin kerajaan dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang untuk melawan Pemerintah Belanda.
     Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang pasukan serdadu,ini yang belum pernah terjadi pada zaman itu, Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka maupun metoda perang gerilya yang dilaksanakan melalui berberapa taktik dan penghadangan yang sebelumnya belum pernah dipraktikan. 
     Pecahnya perang Diponegoro ini tersiar kesegala penjuru daerah sehingga para ulama, kaum bangsawan, dan para bupati dari berbagai daerah berdatangan ke Selangor mereka diantarannya yaitu Kyai Mojo dari Pajang Surakarta, Sentot Alibasyah Mustofa Prawirodirjo, putra bupati Mancanegara Timur (Maos Pati), Kyai Kasan Bashari(ulama) ikut membantu jalannya Perang Diponegoro. (Suparman, 1995: 47)
     Dari Selarong tentara Pangeran Diponegoro mengepung kota Yogyakarta. Dengan siasat gerilyannya yang mendadak dan menyergap musuh memperlihatkan bahwa sebenarnya Diponegoro adalah panglima perang yang cakap dan canggih, berkali-kali pasukan Belanda dikepung dan dibinasakan oleh Pangeran Diponegoro. Melihat semua itu, Belanda mulai cemas, dan dipanggilnya tentarannya yang berada di Sumatra, Sulawesi, Semarang, dan Surabaya bahkan, dengan terpaksa Belanda juga mendatangkan pasukan tambahan dari negeri Belanda sendiri, untuk membantu pasukan Belanda yang ada di Pulau Jawa, untuk menghindari serangan pasukan Pangeran Diponegoro. Namun usaha Pemerintah Belanda itu sia-sia, pasukan tambahan tersebut dapat dihancurkan oleh Diponegoro. Karena gerakan Pangeran Diponegoro mendapatkan kemenangan, akhirnya gerakan Diponegoro meluas sampai ke Banyuwangi, Kedu, Surakarta, Semarang, Demak, dan Madiun. Kemenagan-kemenangan Pangeran Diponegoro itu membakar semangat rakyat Indonesia, sehingga banyak rakyat yang ikut bergabung dalam pertempuran tersebut. Sebaliknya, akibat pertempuran yang dilakukan pada tahun 1825-1826 tersebut, Belanda banyak mengalami kekalahan, sehingga pada tahun 1827, Pemerintah Belanda mengangkat Jendral De Kock menjadi panglima seluruh pasukan Belanda. Kemudian Belanda menyusun siasat perang baru yang dikenal dengan sebutan Benteng Stelsel yaitu daerah yang dikuasainya didirikan benteng-benteng untuk mengawasi daerah-daerah sekitarnya. Antara benteng yang satu dengan benteng yang lainnya dihubungkan dengan pasukan gerak cepat. Tujuan utama didirikannya benteng stelsel ini adalah untuk membatasi ruang gerak pasukan Pangeran Diponegoro, serta memutuskan jaringan kerja antar pasukan dari Pangeran Diponegoro, serta untuk menekam pertahanan Pangeran Diponegoro agar cepat menyerah kepada Pemerintah Belanda. (Suparman, 1995:48)
     Di samping menerapkan siasat Benteng Stelsel itu, Belanda juga mengusahakan penyelesaian secara damai lewat perundingan pada tanggal 9-23 Agustus 1827. Pihak Diponegoro diwakili oleh Kyai Mojo dan Abdulrahman, tetapi usaha itu gagal. Perang berkobar lagi. Pemimpin pasukan Diponegoro yang tertangkap oleh Belanda yaitu Suryo Mataram, Ario Prangwadono, Pangeran Serang dan Notoprojo. Dengan adanya Benteng Stelsel kedudukan Belanda semakain kuat. Walaupun Belanda berhasil mempersempit daerah kekuasaan Diponegoro dengan benteng stelsel. Namun pasukan Belanda tetap mendatangkan pasukan dari berbagai daerah. Belanda telah memnggunakan pasukan Paku Alam dan Mangkunegoro untuk menghadang gerak pasukan Diponegoro. Belanda juga terus membujuk para pangeran di Magelang untuk menghentikan perlawanan dengan janji akan diperlakukan dengan baik dan akan diakui kedudukannya maka banyak pangeran yang menyerah itu diantara Notoningrat, Aria Sapak dan Sosrodinoyo tetapi pasukan Sentot Prawirodirjo tetap melakukan pertempuran di sebelah barat Yogjakarta.

Akhir Perjuangan Diponegoro.
     Untuk mempercepat berakhirnya perang, Belanda bersedia memberi hadiah 50.000 gulden bagi siapa yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro, tetapi tidak ada yang berani. Akhirnya Belanda mengirim surat kepada Pangeran Diponegoro yang isinya Belanda menawarkan penyelesaian damai dengan cara perundingan. Dalam perundingan Belanda akan menjamin keamanan, keselamatan, dan kebebasan untuk kembali ke medan perang seandainya itu gagal. Pangeran Diponegoro bersedia menerima tawaran itu, dan pada tanggal 28 Maret 1830 dilangsungkan perundingan antara Pemerintah Belanda dengan Pangeran Diponegoro di rumah Residen Kedu. Perundingan tu berakhir tanpa mendapatkan kesepakatan apa-apa, maka atas perintah rahasia dari Jendral De Kock, seusai perundingan Pangeran Diponegoro tiba-tiba di tangkap. Dengan tertangkapnya Pangeran Diponegoro membuat perlawanan rakyat di Jawa berangsur-angsur surut. Lalu Diponegoro oleh Belanda dibawa ke Batavia dan akhirnya diasingkan ke Manado pada tanggal 3 Mei 1830, tetapi kemudian dipindahkan lagi ke Makasar pada tahun 1834. sedangkan Kyai Mojo diasingkan ke Minahasa .Pada tanggal 8 Januari 1855 dalam usia 70 tahun Diponegoro akhirnya wafat di Makasar. (Suparman, 1995:49)
Dengan berakhirnya perjuangan Pangeran Diponegoro, semangat masyarakat Jawa untuk melawan dan mengusir penjajahan Belanda menjadi surut. Padahal sebelum Pangeran Diponegoro wafat, semangat masyarakat jawa sangat berapi-api hingga peduli mempertaruhkan nyawa sekalipun. Tidak sedikit dari masyarakat jawa yang wafat akibat perlawanan terhadap Belanda.
     Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.

Kesimpulan

Dari penjabaran di halaman yang telah dijelaskan di depan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

     Pangeran Diponegoro merupakan putra pertama Sri Sultan Hamengkubuwono II sehingga tidak lain lagi beliau adalah Sri Sultan Hamengkubuwono III sekaligus pewaris tahta kerajaan di Yogyakarta. Walaupun Pangeran Diponegoro adalah putera seorang raja, beliau tidak senang tinggal di istana, karena adanya pengaruh dari Belanda. Karena Pengaruh dari Belanda membawa dampak yang sangat besar baik di kalangan keraton maupun di kalangan rakyat biasa. Oleh sebab itulah beliau tidak suka tinggal di istana.

Adapun pengaruh yang kurang baik diantaranya

     a. Adat istiadat banyak yang dilanggar.

     b. Ajaran agama diabaikan.

     c. Uang dihambur-hamburkan untuk pesta.

Hal tersebut berakibat hidup rakyat menderita, tanah mereka dirampas oleh Belanda dan mereka harus membayar bermacam-macam pajak. Hal itu tentu saja sangat merugikan masyarakat setempat. Oleh karena itu Diponegoro berniat untuk melawan kekuasaan Belanda yang sangat sewenang-wenang terhadap rakyat. Selain itu ada berbagai macam sebab, baik sebab umum ataupun khusus untuk melawan kekuasaan Belanda di tanah jawa. Sebab umum tersebut antara lain, Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok tanah milik Pangeran Diponegoro di Desa Tegalrejo. Pada saat itu memang Pangeran Diponegoro sudah membenci kelakuan Belanda karena Belanda selalu ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan di Yogyakarta. Adapun sebab khususnya adalah sebagai berikut:

Belanda akan membuat jalan raya yang melewati makam leluhur Diponegoro tanpa meminta izin terlebih dahulu.

Pangeran Diponegoro mencabuti patok-patok yang telah ditancapkan oleh Belanda


Peran Pangeran Diponegoro dalam kemerdekaan RI;

     Pangeran Diponegoro beserta rakyat bergabung untuk melawan dan mengusir Belanda dari tanah Jawa. Walaupun Pemerintah Belanda tetap bersikeras untuk bertahan di tanah Jawa serta melakukan perlawanan terhadap Pangeran Diponegoro. Namun Pangeran Dipenegoro memiliki taktik untuk bisa mengalahkan Pemerintah Belanda. Taktik perang tersebut adalah taktik perang Gerilya.
     Taktik gerilya membawa keuntungan dan kemenangan. Walaupun saat itu Belanda telah menggunakan senjata modern. Bahwa perilaku yang luhur Pangeran Diponegoro menimbulkan simpati baik di kalangan bangsawan sampai di kalangan rakyat jelata, yang akhirnya mereka bersatu untuk melawan Belanda. Mereka sangat bersemangat dalam mengusir Belanda bahkan nyawa dipertaruhkan untuk bisa mengusir Belanda. Harga diri dan kehormatan keluarga adalah segala-galanya bagi Pangeran Diponegoro. Namun tipu muslihat dan kelicikan Belanda menyeret Pangeran Diponegoro ke meja perundingan, sekaligus pengasingan beliau, sampai ajal menjemputnya.




Daftar Rujukan: 

Suparman. 1995. IPS SEJARAH. Jakarta: Pustaka Mandiri.

Anwar Kurnia. 2002. IPS TERPADU. Jakarta: Yudistira.

0 komentar:

Posting Komentar