oleh: Nur Inayah
Radan Mas
Ontowiryo atau yang sering kita kenal dengan sebutan Pangeran Diponegoro ini
adalah putra tertua dari Sri Sultan Hamegkubuono II dengan Raden Ayu
Mangrawati, yaitu keturunandari Kyai Ageng Prampelan, seorang ulama yang sangat
disegani pada masa panembahan Senopati saat beliau mendirikan kerajaan Mataram.
Sejak kecil, Pageran Diponegoro diasuh oleh neneknya, yang bernama Kanjeng Ratu
Ageng. Tatkala di Istana kerajaan terjadi ketegangan dan keributan, Kanjeng
Ratu Ageng meninggalkan istana bersama cucunya yaitu Pangeran Diponegoro ke
Desa Tegalrejo, yang terletak di sebelah barat Yogyakarta. (Anwar Kurnia,
2002:79)
Sebab-Sebab terjadinya Perang Diponegoro.
Pangeran
Diponegoro mencabuti patok-patok yang telah ditancapkan oleh Belanda
Pangeran Diponegoro beserta rakyat bergabung untuk melawan dan
mengusir Belanda dari tanah Jawa. Walaupun Pemerintah Belanda tetap bersikeras
untuk bertahan di tanah Jawa serta melakukan perlawanan terhadap Pangeran
Diponegoro. Namun Pangeran Dipenegoro memiliki taktik untuk bisa mengalahkan
Pemerintah Belanda. Taktik perang tersebut adalah taktik perang Gerilya.
Pangeran Diponegoro adalah putera seorang raja, tetapi beliau
tidak senang tinggal di istana dan hidup berfoya-foya disana. Pangeran
Diponegoro lebih suka hidup biasa seperti rakyat pada umumnya. Pangeran
Diponegoro bukan hanya pahlawan nasional terbesar dari masyarakat pulau Jawa
yang berjuang melawan Pemerintah Kolonoal Hindia Belanda yang semata-mata hanya
karena urusan tanah dan tahta. Tetapi, Pangeran Diponegoro adalah keturunan
bangsawan dari Jawa yang sangat mendalami dan mengerti ajaran agama Islam.
Pangeran Diponegoro merupakan sosok pahlawan yang pemberani demi mewujudkan
sebuah cita-cita luhur bangsa Indonesia.
Pangeran Diponegoro tinggal di Desa Tegalrejo,
tetapi dalam urusan pemerintahan di Yogyakarta, Pangeran Diponegoro tetap
bertugas dalam suatu dewan perwalian. Selain itu Pangeran Diponegoro juga
pempunyai pengaruh yang luas di kalangan rakyat Yogyakarta, dan Rakyat
Indonesia pada umumnya. Mengetahui hal itu, Belanda tidak seuju, karena Belanda
menganggap itu dapat menghalangi cita-cita untuk menguasai kesultanan
Yogyakarta. Oleh sebab itu, setiap gerak gerik yang dilakukan oleh Pangeran
Diponegoro selalu diawasi oleh Pemerintah Belanda. Hal itulah yang menjadi awal
timbulnya benih permusuhan antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda.
Dengan demikian maka, alangkah baiknya jika kita mengetahui
bagaimana sejarah kehidupan serta peran Pangeran Diponegoro dalam
memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Karena selain berjuang untuk
merebut tanah dari kekuasaan Belanda Pangeran Diponegoro juga berjuang
memperjuangkan kemerdekaan seluruh tanah bumi pertiwi.
Setelah kekalahannya dalam Peperangan ea
Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi
berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di
wilayah jajahannya. Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan
perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktik monopoli
yang dilakukannya itu sangat meresahkan rakyat Indonesia yang ketika itu sudah
sangat menderita. Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya,
Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah
satu diantaranya adalah Kerajaan Yogyakarta.
Di Yogyakarta Pangeran Diponegoro mempunyai pengaruh
terhadap masyarakat, apalagi setelah beliau diangkat sebagai kepala
pemerintahan disuatu dewan perwalian. Belanda tidak menyenangi Pangeran
Diponegoro menduduki dewan perwalian di Yogyakarta.
Dalam rangka melawan kekuasaan Belanda di
kerajaan Yogyakarta, maka terjadilah pertempuran di sana . Pertempuran tersebut
dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. (Radan Mas Ontowiryo), Putra tertua dari Sri
Sultan Hamengkubuwono II. Semangatnya dalam menumpas kedudukan Belanda di tanah
jawa sangat besar hingga sulit dikalahkan oleh pemerintah Kolonial Belanda.
Hingga Belanda melakukan taktik kelicikan dengan menangkap dan mengasingkan
Pangeran Diponegoro. Saat mereka mengadakan perundingan di kediaman Residen
Kedu. Hingga akhirnya di tempat pengasingannya itu, Pangeran Diponegoro wafat.
(Suparman, 1945:49 )
Sebab-Sebab terjadinya Perang Diponegoro.
Dalam rangka menumpas kekuasaan Belanda di tanah Jawa terdapat
sebab-sebab, baik sebab umum maupun sebab khusus. Adapun sebab umum dari
terjadinya perang Diponegoro adalah sebagai berikut:
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok
tanah milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Pada saat itu memang Pangeran
Diponegoro sudah membenci kelakuan Belanda karena Belanda selalu ikut campur
tangan dalam urusan pemerintahan di Yogyakarta.
Perlawanan Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825-1830 ini,
disebabkan oleh reaksi dari sistem yang diciptakan dan diwariskan oleh Reffles
dan Daendles, antara lain:
Keraton merasa dihina dan diturunkan martabatnya, karena sejak
jatuhnya Mataram ketangan pemerintah kolonial, maka berdirinnya keraton
seakan-akan hanya karena kemurahan hati pemerintah kolonial. Selain itu,
kekuasaan raja juga terus menerus diperkecil dengan cara membagi kerajan
Mataram menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Mereka juga menyamakan kedudukan raja
dengan kedudukan pegawai tingi serta melarang para bangsawan menyewakan
tanahnya kepada perusahaan asing.
Rakyat mengalami penderitaan karena diperas berbagai sitem pajak,
antara lain pajak lalu lintas, pajak ternak, pajak tanah, pajak rumah, pajak
hasil bumi. Akibat perbuatan pegawai kolonial yang sewenan-wenang terhadap
rakyat. Pada tahun 1825 Belanda bermaksud membuat jalan baru dari Yogyakata ke
Magelang melalui wilayah Desa Tegalrejo, dengan melewati makam leluhur Pangeran
Diponegoro. Tindakan itu menimbulkan amarah Diponegoro semakin meluap-luap.
(Anwar Kurnia, 2002:80)
Sebab khusus dari terjadinya perang Dipenegoro adalah sebagai
berikut:
Belanda
akan membuat jalan raya yang melewati makam leluhur Diponegoro tanpa meminta
izin terlebih dahulu.Pangeran Diponegoro mencabuti patok-patok yang telah
ditancapkan oleh Belanda.
Melihat tidakan Pangeran Diponegoro seperti itu, Maka Residen
Smisaert meminta Pangeran Mangkubumi agar membujuk Pangeran Diponegoro untuk
menghadapnya. Permintaan Residen Smisaert ditolak oleh Diponegoro, dan Pangeran
Mangkubumi kemudian ikut bergabung dengan Diponegoro untuk melawan Belanda. Pada
tanggal 20 Juli 1825, Belanda dibantu Patih Danurejo IV untuk menyerang
kediaman Pangeran Diponegoro di Desa Tegalrejo. Ketika itu Pangeran Diponegoro
dan Pangeran Mangkubumi sedang berada di Pendopo Kerajaan. Pangeran Diponegoro
semula tidak mau mundur, tetapi setelah didesak oleh Pangeran Mangkubumi,
akhirnya Pangeran Diponegoro berhasil meloloskan diri melalui pintu samping
kediamannya. Pangeran Diponegoro menaiki kudanya diikuti oleh Pangeran
Mangkubumi menuju Selarong yang berada di sebelah barat Yogyakarta.
Kini perang mulai berkobar, daerah Kesultanan Yogyakarta
mendapatkan bantuan dari berbagai golongan, diantaranya :
Golongan
ulama yang terdiri dari Kiai Mojo dan Kiai Hasan Besari, golongan bangsawan
yang terkenal yaitu Sentot Prawirodirjo, dan golongan petani.
Lalu mereka berkumpul dan menyusun taktik perang. Dan taktik
perang yang akan gigunakan oleh Pangeran Diponegoro dan pasukannya adalah
bergerilya (berpindah dari satu tempat ke tempat lain), misalnya: dari
Yogyakarta ke Selarong, Plered, Dekso, Pengasih, bahkan sampai ke Jawa Timur.
(Anwar Kurnia, 2002: 80)
Proses Terjadinya
Perang Diponegoro.
Permusuhan antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda berawal
ketika Belanda memasan patok-patok jalan melalui Desa Tegalrejo. Rupanya, jalan
yang akan dibangun itu melintasi tanah makam leluhur Pangeran Diponegoro.
Melihat hal itu, Pangeran Diponegoro menjadi marah. Kemudian Pangera Diponegoro
mencabuti patok-patok jalan itu.
Setelah kejadian itu, Residen Belanda yang bernama A.H. Smiseart
meminta Pangeran Diponegoro untuk menghadapnya namun permintaan itu secara
tegas ditolak oleh Pangeran Diponegoro. Akibatnya, pada tanggal 21 Juli 1825
sekitar pukul 17.00 WIB pasukan Belanda menembakkan meriam ke Desa Tegalrejo.
Penyerangan pasukan Belanda ini membuat rakyat berbondong-bondong datang ke
Pendopo Tegalrejo. Mereka bermaksud mendukung Pangeran Diponegoro. Akhirnya
pusat pertahanan Pangeran Diponegoro yang semula berada di Tegalrejo karena
adannya seranan itu dan adanya usulan dari Pangeran Mangkubumi, maka
dipindahkan ke daerah Selarong.
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan
invantri, kaveleri dan artileri yang sejak perang Napoleon, menjadi senjata
andalan dalam pertempuran antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Pangeran
Diponegoro. Front pertempuran ini terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Pulau
Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah
dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu
sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi, begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur
logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan
yang dibutuhkan dalam perang. Perang Diponegoro ini mendapat dukungan dari
rakyat Tegalrejo. Dari Tegalrejo rakyat pendukung Pangeran Diponegoro beserta
pasukannya bergerak ke Bukit Selangor. Disinilah Diponegoro dan rakyatnya
membuat daerah pertahanan dan menyusun strategi penyerangan. Para rakyat
bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun
stategi perang tersebut. Misalnya informasi mengenai kekuatan musuh, jarak
tempuh dan waktu, kondisi medan, dan curah hujan. Itu semua menjadi berita
utama karena taktik dan strategi hanya dapat dibangun melalui penguasaan
informasi.
Serangan-serangan besar oleh rakyat pribumi
selalu dilaksanakan pada bulan-bulan musim penghujan. Karena musim hujan
merupakan waktu yang paling baik untuk bekerjasama dengan alam. Bila musim
penghujan tiba, Gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan
senjata dan berunding, karena hujan sering kali terjadi dengan deras, membuat
gerakan pasukan mereka terhambat. Begitu pula berbagai peyakit banyak
bermunculan pada musim hujan. Misalnya penyakit malaria dan disentri yang
selalu menyerang pada waktu musim penghujan. Dengan adannya penyakit tersebut,
dapat menjadi kabar baik bagi bangsa Indonesia, sebab penyakit tersebut dapat
melemahkan moral dan kondisi fisik pasukan Kolonial Belanda, bahkan dapat pula
merenggut nyawa pasukan Kolonial Belanda.
Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan
pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator. Mereka bergerak dari
desa ke desa,bahkan sampai ke kota,hanya untuk memecah belah dan menekan
anggota keluarga parapemimpin kerajaan dan pemimpin perjuangan rakyat yang
berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut
tidak gentar dan tetap berjuang untuk melawan Pemerintah Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan
lebih dari 23.000 orang pasukan serdadu,ini yang belum pernah terjadi pada
zaman itu, Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan
semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang
terbuka maupun metoda perang gerilya yang dilaksanakan melalui berberapa taktik
dan penghadangan yang sebelumnya belum pernah dipraktikan.
Pecahnya perang Diponegoro ini tersiar
kesegala penjuru daerah sehingga para ulama, kaum bangsawan, dan para bupati
dari berbagai daerah berdatangan ke Selangor mereka diantarannya yaitu Kyai
Mojo dari Pajang Surakarta, Sentot Alibasyah Mustofa Prawirodirjo, putra bupati
Mancanegara Timur (Maos Pati), Kyai Kasan Bashari(ulama) ikut membantu jalannya
Perang Diponegoro. (Suparman, 1995: 47)
Dari Selarong tentara Pangeran Diponegoro
mengepung kota Yogyakarta. Dengan siasat gerilyannya yang mendadak dan
menyergap musuh memperlihatkan bahwa sebenarnya Diponegoro adalah panglima
perang yang cakap dan canggih, berkali-kali pasukan Belanda dikepung dan
dibinasakan oleh Pangeran Diponegoro. Melihat semua itu, Belanda mulai cemas,
dan dipanggilnya tentarannya yang berada di Sumatra, Sulawesi, Semarang, dan
Surabaya bahkan, dengan terpaksa Belanda juga mendatangkan pasukan tambahan
dari negeri Belanda sendiri, untuk membantu pasukan Belanda yang ada di Pulau
Jawa, untuk menghindari serangan pasukan Pangeran Diponegoro. Namun usaha
Pemerintah Belanda itu sia-sia, pasukan tambahan tersebut dapat dihancurkan
oleh Diponegoro. Karena gerakan Pangeran Diponegoro mendapatkan kemenangan,
akhirnya gerakan Diponegoro meluas sampai ke Banyuwangi, Kedu, Surakarta,
Semarang, Demak, dan Madiun. Kemenagan-kemenangan Pangeran Diponegoro itu
membakar semangat rakyat Indonesia, sehingga banyak rakyat yang ikut bergabung
dalam pertempuran tersebut. Sebaliknya, akibat pertempuran yang dilakukan pada
tahun 1825-1826 tersebut, Belanda banyak mengalami kekalahan, sehingga pada
tahun 1827, Pemerintah Belanda mengangkat Jendral De Kock menjadi panglima
seluruh pasukan Belanda. Kemudian Belanda menyusun siasat perang baru yang
dikenal dengan sebutan Benteng Stelsel yaitu daerah yang
dikuasainya didirikan benteng-benteng untuk mengawasi daerah-daerah sekitarnya.
Antara benteng yang satu dengan benteng yang lainnya dihubungkan dengan pasukan
gerak cepat. Tujuan utama didirikannya benteng stelsel ini adalah untuk
membatasi ruang gerak pasukan Pangeran Diponegoro, serta memutuskan jaringan
kerja antar pasukan dari Pangeran Diponegoro, serta untuk menekam pertahanan
Pangeran Diponegoro agar cepat menyerah kepada Pemerintah Belanda. (Suparman,
1995:48)
Di samping menerapkan siasat Benteng Stelsel
itu, Belanda juga mengusahakan penyelesaian secara damai lewat perundingan pada
tanggal 9-23 Agustus 1827. Pihak Diponegoro diwakili oleh Kyai Mojo dan
Abdulrahman, tetapi usaha itu gagal. Perang berkobar lagi. Pemimpin pasukan
Diponegoro yang tertangkap oleh Belanda yaitu Suryo Mataram, Ario Prangwadono,
Pangeran Serang dan Notoprojo. Dengan adanya Benteng Stelsel kedudukan Belanda
semakain kuat. Walaupun Belanda berhasil mempersempit daerah kekuasaan
Diponegoro dengan benteng stelsel. Namun pasukan Belanda tetap mendatangkan
pasukan dari berbagai daerah. Belanda telah memnggunakan pasukan Paku Alam dan
Mangkunegoro untuk menghadang gerak pasukan Diponegoro. Belanda juga terus
membujuk para pangeran di Magelang untuk menghentikan perlawanan dengan janji
akan diperlakukan dengan baik dan akan diakui kedudukannya maka banyak pangeran
yang menyerah itu diantara Notoningrat, Aria Sapak dan Sosrodinoyo tetapi
pasukan Sentot Prawirodirjo tetap melakukan pertempuran di sebelah barat
Yogjakarta.
Akhir
Perjuangan Diponegoro.
Untuk mempercepat berakhirnya perang, Belanda bersedia memberi
hadiah 50.000 gulden bagi siapa yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro,
tetapi tidak ada yang berani. Akhirnya Belanda mengirim surat kepada Pangeran
Diponegoro yang isinya Belanda menawarkan penyelesaian damai dengan cara
perundingan. Dalam perundingan Belanda akan menjamin keamanan, keselamatan, dan
kebebasan untuk kembali ke medan perang seandainya itu gagal. Pangeran
Diponegoro bersedia menerima tawaran itu, dan pada tanggal 28 Maret 1830
dilangsungkan perundingan antara Pemerintah Belanda dengan Pangeran Diponegoro
di rumah Residen Kedu. Perundingan tu berakhir tanpa mendapatkan kesepakatan
apa-apa, maka atas perintah rahasia dari Jendral De Kock, seusai perundingan
Pangeran Diponegoro tiba-tiba di tangkap. Dengan tertangkapnya Pangeran
Diponegoro membuat perlawanan rakyat di Jawa berangsur-angsur surut. Lalu
Diponegoro oleh Belanda dibawa ke Batavia dan akhirnya diasingkan ke Manado
pada tanggal 3 Mei 1830, tetapi kemudian dipindahkan lagi ke Makasar pada tahun
1834. sedangkan Kyai Mojo diasingkan ke Minahasa .Pada tanggal 8 Januari 1855
dalam usia 70 tahun Diponegoro akhirnya wafat di Makasar. (Suparman, 1995:49)
Dengan berakhirnya perjuangan Pangeran Diponegoro, semangat
masyarakat Jawa untuk melawan dan mengusir penjajahan Belanda menjadi surut.
Padahal sebelum Pangeran Diponegoro wafat, semangat masyarakat jawa sangat
berapi-api hingga peduli mempertaruhkan nyawa sekalipun. Tidak sedikit dari
masyarakat jawa yang wafat akibat perlawanan terhadap Belanda.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir
perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak
pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi dan
200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta
menyusut separuhnya.
Kesimpulan
Dari
penjabaran di halaman yang telah dijelaskan di depan, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
Pangeran Diponegoro merupakan putra pertama
Sri Sultan Hamengkubuwono II sehingga tidak lain lagi beliau adalah Sri Sultan
Hamengkubuwono III sekaligus pewaris tahta kerajaan di Yogyakarta. Walaupun
Pangeran Diponegoro adalah putera seorang raja, beliau tidak senang tinggal di
istana, karena adanya pengaruh dari Belanda. Karena Pengaruh dari Belanda
membawa dampak yang sangat besar baik di kalangan keraton maupun di kalangan
rakyat biasa. Oleh sebab itulah beliau tidak suka tinggal di istana.
Adapun pengaruh yang kurang baik diantaranya
a. Adat istiadat banyak yang dilanggar.
b. Ajaran agama diabaikan.
c. Uang dihambur-hamburkan untuk pesta.
Hal tersebut berakibat hidup rakyat menderita, tanah mereka
dirampas oleh Belanda dan mereka harus membayar bermacam-macam pajak. Hal itu
tentu saja sangat merugikan masyarakat setempat. Oleh karena itu Diponegoro
berniat untuk melawan kekuasaan Belanda yang sangat sewenang-wenang terhadap
rakyat. Selain itu ada berbagai macam sebab, baik sebab umum ataupun khusus
untuk melawan kekuasaan Belanda di tanah jawa. Sebab umum tersebut antara lain,
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok tanah milik
Pangeran Diponegoro di Desa Tegalrejo. Pada saat itu memang Pangeran Diponegoro
sudah membenci kelakuan Belanda karena Belanda selalu ikut campur tangan dalam
urusan pemerintahan di Yogyakarta. Adapun sebab khususnya adalah sebagai
berikut:
Belanda
akan membuat jalan raya yang melewati makam leluhur Diponegoro tanpa meminta
izin terlebih dahulu.
Peran Pangeran
Diponegoro dalam kemerdekaan RI;
Taktik gerilya membawa keuntungan dan kemenangan. Walaupun saat
itu Belanda telah menggunakan senjata modern. Bahwa perilaku yang luhur
Pangeran Diponegoro menimbulkan simpati baik di kalangan bangsawan sampai di
kalangan rakyat jelata, yang akhirnya mereka bersatu untuk melawan Belanda.
Mereka sangat bersemangat dalam mengusir Belanda bahkan nyawa dipertaruhkan
untuk bisa mengusir Belanda. Harga diri dan kehormatan keluarga adalah
segala-galanya bagi Pangeran Diponegoro. Namun tipu muslihat dan kelicikan
Belanda menyeret Pangeran Diponegoro ke meja perundingan, sekaligus pengasingan
beliau, sampai ajal menjemputnya.
Daftar
Rujukan:
Suparman.
1995. IPS SEJARAH. Jakarta: Pustaka Mandiri.
Anwar Kurnia. 2002. IPS TERPADU. Jakarta: Yudistira.
0 komentar:
Posting Komentar